Sejarah Filsafat Hukum Yunani Klasik
Sejarah Filsafat Hukum Yunani Klasik
oleh : Totoh Wildan Tohari
Yunani
boleh disebut sebagai sumber kancah pemikiran-pemikiran tentang hukum sampai
akar-akar filsafatnya, sehingga masalah-masalah utama yang sekarang ini bisa
dikaitkan ke belakang kepada bangsa tersebut. Masalah-masalah utama yang
sekarang di bicarakan dalam teori-teori hukum telah mendapat perumusannya pada
masa itu. Dibandingkan Yunani, maka Romawai maka Romawi tidak banyak memberikan
membangun pada pemikiran teori ini. Bangsa yang disebut belakangan ini lebih menyumbangkan
pemikirannya pada pada konsep-konsep dan teknik-teknik yang berhubungan dengan
hukum positif, seperti bidang-bidang kontrak, kebendaan dan ajaran-ajaran
tentang kesalahan. Ada 2 hal yang menyebaban pemikiran filsafat hukum itu begitu
subur di Yunani.[1]
Pertama,
kecenderungan-kecenderungan untuk berfikir spekulatif serta persepsi
intelektualnya untuk menyadari adanya tragedy kehidupan manusia serta
konflik-konflik dalam kehidupan dunia ini, seperti yang terlihat pada
karya-karya filsafat dan kesusasteraannya, memberikan saham yang besar kea rah
hukum yang bersifat teoritis. Dengan kecenderungan kecenderungan pemikiran
seperti itu, orang Yunani melihat bagaimana timbul dan perkembangan polis,
Negara kota di masa itu. Kekacauan-kekacauan sosial, konflik-konflik yang ada
didalamnya, pergantian pemerintah yang begitu sering, masa-masa tiranik dan
kesewenang-wenangan, yang terjadi pada masa itu, memberikan bahan banyak sekali
bagi pemikiran yang bersifat spekulatif mengenai persoalan-persoalan hukum yang
ada di masyarakat. Demikian orang pun didorong untuk memikirkan problem yang
abadi mengenai hubungan hubungan antara hukum positif dengan keadilan yang
abadi itu, sehingga memberikan sumbangan pemikiran Yunani ke dalam dunia teori
hukum (Friedman, 1953; 5).
Plato,
yang sendirinya adalah seorang filsuf, namun demikian, ia pun mengembangkan
teorinya sendiri mengenai keadilan dan hal itu merupakan bagian yang penting
dari keseluruhan bangunan filsafatnya (Bodenheimer, 1974 : 6-9). Menurut Plato
keadilan adalah “apabila seorang itu menjalankan pekerjaannya dalam hidup ini
sesuai dengan kemampuan yang ada padanya”. Setiap anggota masyarakat mempunyai
tugas-tugasnya tersendiri yang khusus dan hendaknya membatasi pekerjaannya
kepada pelaksanaan dari tugas-tugas tersebut. Dengan demikian, Plato hendak
mengatakanm bahwa masyarakat yang adil adalah yang anggota-anggotanya bisa
menjalankan kegiatannya secara demikian itu. “Mengurusi pekerjaan sendiri dan
tidak mencampuri orang lain, itulah keadilan”. Plato mempunyai idealnya sendiri
mengenai masyarakat yang sejahtera.
Dalam
masyarakat yang demikian itu memang tidak dapat dihindari timbulnya
pertentangan-pertentangan dan ini harus diselesaikan oleh kekuasaan di situ.
Dalam The Republic , Plato
menyerahkan penyelesaian itu kepada para hakim. Ia tidak menghendaki agar dalam
menyelesaikan perkara-perkara itu para hakim diikat oleh peraturan-peraturan
yang pasti yang terdapat dalam hukum positif. The Republic adalah suatu Negara yang dipimpin oleh orang-orang
yang cerdik cendekiawan, yang bebas dan bukannya orang-orang yang terikat
kepada hukum. Keadilan itu hendaknya diciptakan dan dijalankan dalam masyarakat
“tanpa menggunakan hukum”. [2]
Pada
masa-masa menjelang akhir hidupnya,
Plato mulai mengakui , bahwa tidak mudah untuk menemukan orang-orang dengan
kualitas yang demikian itu dan oleh karenanya ia mengusulkan “Negara hukum”
sebagai alternative yang paling baik bagi pemerintahan oleh manusia itu.
Pikiran-pikirannya itu dituangkan dalam karyanya The Laws. Dalam karyanya ini tidak lagi menerima konsep Negara yang
diperintah oleh kekuasaaan serta orang-orang yang bebas, melainkan keadilan
harus dijalankan atas dasar norma-norma tertulis. Para penguasa harus menjadi
hamba hukum yang tidak membeda-bedakan orang.
Aristoteles
adalah murid Plato dan sangat terkesan oleh ide-ide gurunya itu. Sekalipun
demikian, ia mengembangkan pemikirannya sendiri dan terutama banyak mengoreksi
terhadap pikiran edealistis dari gurunya. Menurut Aristoteles, Negara yang
didasarkan pada hukum bukan alternative yang paling baik dari Negara yang
dipimpin oleh orang-orang cerdik cendekiawan, melainkan satu-satunya cara yang
paling praktis untuk mencapai kehidupan yang baik dan sejahtera dalam
masyarakat. Dalam pikiran Aristoteles, hukum itu merupakan pembadanan yang
bebas dari napsu-napsu. Hanya Tuhan dan akal saja yang boleh memerintah.
Rupa-rupanya dalam ajaran Aristoteles ini, hukum merupakan jaminan, bahwa akal
itulah yang memerintah dan bukanlah napsu-napsu dari orang-orang yang
menjalankan perintah tersebut. Namun, Aristoteles masih menambahkan, bahwa
hukum itu bisa keras dan oleh karena itu mengandung kemungkinan untuk tidak
mendatangkan keadilan. Oleh karena itu ia harus dilunakan dan didekatkan kepada
keadilan dengan cara equity, suatu
cara yang kemudian diterapkan secara sistematis dalam system hukum Common lawa
di Inggris.
Menurut Aristoteles, equity adalah “meluruskan
jalannya hukum yang telah menjadi salah disebabkan oleh sifat keumumnannya”.
Hukum berbicara dalam bahasa yang umum, tetapi tidak semua perkara bisa
dimasukan ke dalam pengaturan yang bersifat umum itu, tanpa resiko menimbulkan
ketidakadilan. Dalam keadaan yang demikian ini, hakim hendaknya
memperlakukannya sebagai kasus yang unik dan ia akan memberikan keputusan yang
seperti apabila ia berada pada kursi pembuat hukum.
Sumbangan
Aristoteles yang lain, yang dipandang sangat besar pemikirannya tentang hukum
dan keadilan sampai sekarang, adalah pembedaannya dalam keadilan distributive
dan keadilan korektif (Friedman, 1953 : 9). Keadilan yang pertama menyangkut
soal pembagian barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai
dengan tempatnya dalam masyarakat. Ia menghendaki agar orang –orang yang
mempunyai kedudukan yang sama memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan
hukum.
Keadilan
ini menjadi model dari rumusan Romawi yang klasik sebagaimana dibuat oleh
Ulpian, yaitu “Honeste Vivere, alterum
non laedere, suum cuique tribuere “ (“ Hidup secara terhormat, tidak
menggangu orang lain disekelilingmu, memberikan kepada setiap orang
bagiannya”). Keadilan yang kedua memberikan ukuran bagi menjalankan hukum
sehari-hari. Dalam menjalankan hukum sehari-hari. Dalam menjalankan hukum
sehari-hari kita harus mempunyai standar yang umum guna memperbaiki
(memulihkan) konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang dilakukan orang
dalam hubungannya satu sama lain. Pidana memperbaiki yang telah dilakukan oleh
kejahatan, pemulihan memperbaiki kesalahan perdata, ganti rugi mengembalikan
keuntungan yang diperoleh secara salah. Standar tersebut harus diterapkan tanpa
melihat orang dan untuk semuanya tunduk kepada standar yang objektif (Friedmen,
1953 :10).[3]
Secara
singkatnya sumbangan yang paling dari pemikiran Aristoteles terhadap terori
hukum adalah:
·
Formulasi tentang problema esensial dari
keadilan
·
Formulasi tentang perbedaan antara
keadilan yang abstrak dengan equity
·
Uraian tentang perbedan keadilan hukum
dan keadilan alamiah (seperti hukum positif dan hukum alam).
Pemikiran
lain zaman Yunani yang cukup penting adalah datang dari kaum Stoa, aliran ini
ditemukan pada Abad keempat sebelum masehi, pemikiran-pemikiran terwakili oleh
tulisan Zeno (320-250 BC). Inti ajarannya adalah :
1. Alam
ini diperintah oleh pikiran yang rasional ]
2. Kerasionalan
alam dicerminkan oleh seluruh manusia yang dengan kekuatan penalarannya
memungkinkan menciptakan suatu “natural life” yang didasarkan pada “reasonable
living”.
3. Hukum
Alam dapat diidentifikasikan dengan moralitas tinggi
4. Basis
hukum adalah aturan Tuhan dan keadaan manusiawi.
5. Penalaran
manusia dimaksudkan agar ia dapat membedakan yang benar dari yang salah dan
hukum didasarkan pada konsep-konsep manusia tentang hak dan kewajiban.
Comments
Post a Comment