Pra Peradilan dan Penghormatan Hak Asasi Manusia

                                               
                                                        Pra-Peradilan dan Penghormatan HAM
                                                                
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan Bachtiar Abdul Fatah  tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang meminta “penambahan”  kewenangan Pra-Peradilan, telah memberikan penghormatan yang tinggi pada Penegakan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana Indonesia.

Pada 28 April 2015, 8 Hakim Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh Hakim Konstitusi Agung Arief Hidayat ,memberikan putusan yang menambah kewenangan Pra Peradilan dari sebelumnya hanya bisa menerima perkara dalam hal Sah tidaknya suatu Penahanan, Penggeledahan, Penghentian Penyidikan, Penghentian Penuntutan serta Rehabilitasi. Dalam putusan 125 halaman yang dibacakan bergilir itu, Mahkamah Konstitusi menambahkan objek Penetapan Tersangka sebagai perkara yang bisa diadili di Pra Peradilan. Putusan Mahkamah Konstitusi ini mengakhiri perdebatan tentang sah atau tidaknya   objek Penetapan Tersangka dimasukan dalam Pra Peradilan. Perdebatan ini mencuat saat Komisaris Jenderal Budi Gunawan memenangkan sengketa dengan KPK di Jakarta Selatan, yang objek perkaranya adalah gugatan atas penetapan tersangka yang diterima oleh Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Kemenangan ini menjadi kontroversial bagi kalangan pemerhati hukum, karena sebelumnya Pra Peradilan tidak berwenang menangani yang objek perkaranya adalah Penetapan Tersangka.
Namun jika kita baca dan kaji, alasan serta dasar hukum dikabulkannya gugatan, semangat dari putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah demi untuk penegakan, perlindungan serta penghormatan akan Hak Asasi Manusia. KUHAP yang disahkan pada tahun 1981 sebagai dasar hukum beracara di ranah Pidana, beberapa pasal di dalamnya oleh banyak kalangan sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum pidana Indonesia saat ini. Terutama dalam pasal yang berkaitan dengan tersangka, kurang mendapat perlindungan serta penghormatan dalam KUHAP.  
Indonesia sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan  hukum”. Ketentuan itu berlaku bagi semua warga Negara Indonesia, termasuk bagi tersangka sekalipun. Terlepas mereka “diduga” melakukan tindak pidana, didalam diri mereka terdapat “hak asasi” untuk mendapat kepastian dan jaminan hukum dalam setiap proses hukum yang mereka terima. Salah satu alat yang diberikan oleh Negara untuk itu adalah hukum acara yang adil. Dalam ranah pidana nama alat itu  adalah hukum acara pidana. Secara hakikat hukum acara pidana adalah aturan hukum untuk melindungi warga Negara dari perlakuan sewenang-wenang oleh aparatur penegak hukum karena diduga melakukan perbuatan pidana. Aparatur penegak hukum di Indonesia jika di Indonesia seperti Polisi, Jaksa, KPK, PPNS dsb. Untuk mencegah perlakuan kesewenang-wenangan aparatur Negara itu kemudian, KUHAP menyediakan ruang bagi tersangka dan terdakwa untuk melakukan pembelaan jika dianggap aparat Negara telah berlaku sewenang-wenang dan ruang itu bernama Pra Peradilan. Di Pra Peradilan tersangka bisa menggugat aparat Negara yang dianggap berlaku sewenang-wenang. Permasalahan muncul saat KUHAP tidak memasukan penetapan tersangka sebagai objek Perkara yang bisa ditangani. Seperti yang tercantum dalam pasal 77 KUHAP, objek yang bisa diperkarakan di Pra Peradilan adalah Penahanan, Penggeledahan, Penghentian Penyidikan, Penghentian Penuntutan serta Rehabilitasi. Ketentuan itu dalam Pasal 77 KUHAP itulah yang kemudian yang digugat oleh saudara Bachtiar kepada Mahkamah Konstitusi.  Dasar hukum saudara Bachatiar memberikan argument jika pasal 77 ini bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945  tentang Hak Asasi Warga Negara. Dalam pasal 28I, yang berbunyi “Untuk menegakan dan melindungi Hak Asasi Manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan” . KUHAP yang menjadi pedoman beracara dalam hukum pidana Indonesia, sudah seharusnya memberikan aturan yang menjamin setiap proses hukum bagi warga Negara dalam masalah pidana tidak keluar dari koridor hak asasi manusia. Koridor ini adalah tetap menjamin keadilan bagi tersangka untuk tetap mengusahakan keadilan bagi dirinya. Karena sifatnya baru “disangka” dan “diduga” melakukan tindak pidana, maka jalur mencari keadilan bagi dirinya tetap terbuka dan hal ini telah dijamin oleh UUD 1945, utamanya pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28I ayat 5 seperti yang telah dicantumkan diatas.
Penetapan tersangka bagi setiap orang adalah hal yang tidak inginkan, terlepas seseorang yang telah ditetapkan oleh aparat penegak hukum itu merasa melakukan tindak pidana atau pun tidak melakukan perbuatan pidana. Penetapan tersangka sebagai bagian dari akhir suatu penyidikan, yang mana penyidikan adalah suatu kegiatan mengumpulkan alat bukti yang akan membuat terang suatu perkara sehingga kemudian dapat menemukan tersangka. Sehingga dalam proses penetapan tersangka tidak dilakukan secara acak, karena penetapan tersangka yang dilakukan dengan acak niscaya akan sangat merugikan orang kebanyakan atau orang tidak mampu membela secara baik dengan cara yang benar dan baik. Penegak hukum diberi wewenang untuk menetapkan tersangka bagi siapapun yang menurut hukum masuk kategori pidana, tapi bagaimana jika kekuasaan ini digunakan untuk sebuah kepentingan dan ego dengan mencari-cari kesalahan kepada orang tersebut?
Selain putusan penambahan kewenangan Pra peradilan, MK juga memberi kejelasan soal jumlah alat bukti dalam perkara pidana. Selama ini, dalam penetapan tersangka menurut  KUHAP Pasal 1 ayat 14, 17 dan 21 cukup dengan bukti permulaan ataupun bukti yang cukup. Definisi “Bukti Permulaan” mengandung arti yang sulit dipahami, karena tidak ada penjelasan yang cukup dalam KUHAP apakah yang dimaksud dengan bukti permulaan, misal alat bukti berapa atau dalam bentuk apa? Begitupun definisi “Bukti yang Cukup” sebagai syarat dalam penetapan tersangka. Ketentuan ini tentu memberikan ketidakpastian bagi si tersangka, ketidakjelasan dan ketidakpastian ini rawan menjadi alat bagi penegak hukum untuk menetapkan tersangka kepada setiap orang. Ini berbeda dengan aturan dalam perundang-undangan yan lain, misal UU KPK yang memberi syarat untuk menetapkan tersangka minimal 2 alat bukti. Hingga akhirnya selain Penambahan objek dalam Pra Peradilan juga mengabulkan gugatan yang mensyaratkan kepada aparat penegak hukum pidana untuk minimal mendapatkan 2 alat bukti.

Hal inilah jugalah mengapa masuknya penetapan tersangka sebagai salah satu obyek dalam Pra Peradilan begitu sentral dan penting. Agar tidak tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat Penegak hukum. Pra Peradilan yang sebenarnya berfungsi “Pengawas” dalam suatu tindakan penyidikan dapat melindungi hak asasi seseorang dari suatu tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum dengan alasan proses hukum. Karena idealnya dalam suatu hukum acara dalam hal ini KUHAP, memberikan kesetaraan antara Tersangka dan Terdakwa dengan Penyidik dan Penuntut yang kemudian hasil dari proses hukum itu diakhiri penilaian oleh Hakim yang berupa putusan bersalah atau tidak. Karena apabila dalam proses hukum ada kesetaraan antara Warga Negara dan Aparat penegak hukum, maka kesetaraan yang lain seperti kepada si Kaya dan si Miskin harus ada.
KUHAP yang lahir tahun 1981 juga menjadi alasan mengapa perlu ada perubahan didalamya , karena jelas pada masa itu suatu penetapan tersangka bukan hal dianggap penting karena dianggap hanya “label” belaka. Sehingga penangkapan dan penggeledahan dianggap lebih penting. Tapi seiring perkembangan waktu, penetapan tersangka bagi seseorang sudah dianggap bersalah dan menjadi hal yang kurang baik dimasyarakat.  Apalagi penetapan tersangka yang tanpa mengenal waktu, sehingga kasus seseorang itu tidak jelas dan di lain pihak status tersangka itu menghambat aktivitas seseorang. Sehingga semangat pasal 28D UUD 1945 yang salah satunya menitikberatkan pada kepastian hukum otomatis dilanggar oleh penegak hukum itu sendiri. Kita tentu pernah mendengar seseorang ditetapkan menjadi tersangka tapi proses hukumnya sampai bertahun-tahun untuk diadili hanya untuk melengkap pemberkasan atau hal administrative lainnya, seperti yang dialami seorang Bupati di Jawa Barat yang ditetapkan tersangka pada 13 September 2010 Korupsi tapi masuk pada ranah Pengadilan baru pada awal 2015 dan vonis dibacakan pada Maret 2015 yang lalu. Karena jangan sampai ada anggapan di dalam Aparat penegak hukum, yang penting tersangka dulu, soal pembuktian bisa cari nanti.
Hal yang menarik dari putusan ini, banyak tersangka “korupsi” yang sedang dalam proses penyidikan oleh KPK ramai-ramai mengajukan Pra Peradilan tentang penetapan tersangka kepada mereka.  Ada yang menang seperti mantan ketua BPK dan eks Walikota Makasar, ada juga yang kalah seperti Mantan Menteri Agama SDA. Lalu muncul pertanyaan dari berbagai kalangan,apakah ini berarti putusan MK melemahkan pemberantasan korupsi?  Karena banyak yang khawatir energy KPK habis hanya untuk sengketa di Pra Peradilan saja.   Jawaban untuk pertanyaan dan kekhawatiran diatas adalah tidak! Putusan MK sudah benar,  karena penegakan serta penghormatan pada Hak Asasi Manusia khususnya kepastian hukum pada warga negara sudah seharusnya dihormati dan ini telah diamanatkan dalam  UUD 1945 dan itu tidak bisa diganggu gugat, termasuk dalam proses hukum sekalipun. Sedang ketakutan bahwa energy KPK akan habis karena disibukan oleh sengketa di Pra peradilan adalah konsekuensi dari proses hukum yang mereka laksanakan, tertutama dalam proses penyidikan, dan KPK harus membuktikan bahwa mereka tidak asal menetapkan tersangka pada seseorang yang menurut mereka masuk kriteria. Karena ada kecendurungan, KPK menetapkan tersangka tapi proses untuk masuk ke Pengadilannya sangat lama. Contohnya kasus yang menimpa mantan dirjen Pajak, Hadi Purnomo, beliau ditetapkan pada 2014 tapi hingga awal Maret 2015 belum masuk Pengadilan juga, hingga akhirnya beliau memenangkan gugatan penetapan tersangka di Pra Peradilan, gugatan itu hanya beberapa Minggu setelah putusan MK keluar.Kekalahan KPK di Pra Peradilan adalah konsekuensi dari kegagalan mereka membuktikan pada Hakim bahwa proses hukum mereka sudah sesuai aturan dalam peraturan perundang-undangan.
 Terlepas dari apa yang menimpa KPK akibat keputusan MK ini, putusan ini telah memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan yang merasa mendapat perlakuan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum terutama dalam penetapan tersangka pada mereka. Baik itu kepada tersangka pidana umum seperti pencurian, penggelapan, pembunuhan. Ataupun kepada dugaan tersangka pidana khusus seperti   narkoba, terorisme bahkan korupsi. Karena kita hidup di Negara Hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sampai ada putusan yang tetap dari Pengadilan, mereka belum bisa dikategorikan bersalah Sudah seharusnya kita harus menghormati  hak asasi mereka untuk mendapat keadilan dan kepastian hukum,  dalam setiap usaha mereka  mencari keadilan dan setelah itu biarkan Hakim yang memutuskan bersalah dan tidaknya.

                                                     
                                                     













Comments

Popular posts from this blog

Sinetron Dunia Terbalik dan Kampanye Kesetaraan Gender

Mahasiswa Sulit Bangun Pagi

Cerita Liburan